Tuesday, 27 July 2010
METATAH (POTONG GIGI) BALI : Membunuh musuh dalam diri manusia
Potong gigi......????? Wuiiiiihhhhh...... Ngeri sekali ya dan nyebayanginnya aja ngilu apalagi ngelaksanaainnya....... Khan ngerusak email gigi tuh???? Dan begitu banyak lagi pertanyaanya di benak kita......
Sejak masih berumur satu hari, setiap orang Bali dipenuhi dengan banyak ritual atau upacara agama dalam hidupnya. Mulai dari upacara saat kelahirannya samapai kematiannya. Salah satunya adalah upacara Metatah/Mesangih.
Upacara Metatah/Mesangih dalam bahasa Bali merupakan upacara keagamaan yang wajib dilakukan oleh pemeluk agama Hindu Bali baik itu laki-laki atau perempuan yang telah beranjak remaja atau telah akil balik untuk menuju satu babak hidup memasuki usia dewasa secara niskala. Upacara Metatah bertujuan membunuh enam musuh dalam diri manusia yang dinggap kurang baik bahkan sering dianggap musuh dalam diri sendiri.
Enam musuh itu yang disebut dengan
Sad Ripu.
Sad Ripu itu meliputi:1. Kama (hawa nafsu yang tidak terkendalikan)
2. Loba (ketamakan, ingin selalu mendapatkan yang lebih.)
3. Krodha (marahyang melampaui batas dan tidak terkendalikan).)
4. Mada (kemabukan yang membawa kegelapan pikiran)
5. Moha (kebingungan/ kurang mampu berkonsentrasi
sehingga akibatnya individu tidak dapat menyelesaikan tugas
dengan sempurna.)
6. Matsarya (iri hati/ dengki yang menyebabkan permusuhan.)
Jadi potong gigi bukan semata-mata untuk mencari keindahan tetapi mempunyai tujuan yang sangat mulia.
KEKUATAN SUPRANATURAL
Bagi keluarga Jro Mangku Wayan Rajin upacara ini sangatlah penting, karena salah satu tugas mereka sebagai orangtua sudah mereka jalani yaitu mendampingi anak-anaknya hingga sampai dewasa.
Prosesi potong gigi hanya merupakan simbolisasi saja. Gigi yang ada bukan dipotong tetapi diratakan dengan menggunakan kikir. Ada 6 gigi atas yang diratakan, termasuk gigi taring, ke 6 gigi inilah yang melambangkan Sad Ripu.
Hanya memakan waktu sekitar 10 – 15 menit untuk melakukan prosesi ini, dan yang melakukannya haruslah seorang yang ahli yang disebut sangging.
Para sangging biasanya orang yang telah di inisiasi menjadi Pinanditayang memang memiliki ketrampilan untuk itu.
Dalam kesempatan kali ini yang melakukan metatah adalah Sangging Alak Ketig, mantra-mantra dilafalkan oleh sangging sebelum melakukan tugasnya supaya upacara berjalan dengan lancar dan semuanya dilakukan di bale keluarga.
Sangging, yang juga memiliki kekuatan supranatural ini lalu mengeluarkan sebuah cincin merah delima dan menuliskan rajahan"Ongkara" pada gigi dan dada. Cincin ini berfungsi sebagai proteksi dari serangan ilmu hitam dari orang yang tak suka pada mereka, dan juga tempat metatah biasanya juga dijaga ketat oleh beberapa orang anggota keluarga dan juga yang memiliki kekuatan supranatural.
Tak jarang pula terdengar kabar orang yang ditatah menjadi sakit, giginya rontok bahkan ada yang sampai meninggal dunia.
Oleh karena itu upacara metatah tak pernah dilakukan hingga sang surya berada di puncak langit.
Mulut putra dari Jro Mangku Wayan Rajin satu persatu sebelum upacara dimulai, bagian mulut mereka diganjal terlebih dahulu dengan potongan dari kayu dadap atau tebu dan kumur-kumur dengan air perasan kunir lalu diakhiri dengan mengigit daun sirih pertanda berakhirnya proses metatah. Air liur yang keluar yang keluar ditampung dalam sebuah kelapa gading dan biasanya dipegang oleh ibu kandung.
Setelah itu merekapun diperciki dengan air suci atau Tirtha Pembersihan/Penyucian oleh Sangging Ala Ketig.
Lalu Gedhe, Kadek dan Komang pun bersembahyang di merajan keluarga, dipimpin oleh seorang pedanda untuk memohon perlindungan dari Sang Hyang Widi Wasa untuk memasuki tahapan baru dalam hidup mereka. Kepada leluhur mereka minta didoakan dan direstui jalan hidupnya yang dilambangkan dengan Kewangen.
Prosesi ini memang membutuhkan biaya yang sangat mahal, karena prosesinya membutuhkan beberapa kelengkapan sesajen dan juga banyak keluarga yang hadir, apalagi saat ini kelurga Jro Mangku Wayan Rajin melaksanakan bertepatan dengan prosesi pernikahan putranya yang kedua maka memerlukan biaya yang sangat besar.
Mahalnya biaya membuat orang Bali lebih memilih ritual Metatah ini dilakukan berkelompok untuk menghemat coast.
Setelah semuanya selesai maka Kadek dan Dayu Okta harus bersiap-siap di dandani atau di rias untuk melaksanakan upacara Pawiwahan dan kemudian berdoa ke pura leluhur mereka.
Memang orang Bali selalu mengingat akan Budaya asal mereka dan tidak pernah meninggalkannya sesuai dengan falsafah mereka:
"....Ngerajenga Agama Budaya Adat Istiadat Jagat Lan Sedaging Jagat Rauhin Kepungkur Wekas..."
yang artinya Masyarakat Bali senantiasa menjaga keajegan/kerukunan agama, adat istiadat bangsa dan negara dari dulu, kini dan yang akan datang.
Monday, 26 July 2010
barong ngelawang
Seniman di Bali tak pernah berhenti berkarya, walau hasil karya mereka tak selalu identik dengan fulus. Seniman tari atau tembang dan tabuh tak selalu mengkomersialkan karya mereka. Kebanyakan bahkan berwujud dalam bentuk ngayah.“Misalnya ketika Pagerwesi atau Sugihan menjelang Galungan kami harus mengarak seluruh perangkat upacara ke laut untuk disucikan atau memendak tirta suci dari tengahing segara,” ujar Gurun Santa, 61 tahun pemangku dari Cemagi Badung. Sugihan bagi seniman di kampung itu maknanya mereka harus memulai hari yang disucikan sebelum galungan.Ketika Sugihan Jawa datang perangkat upacara beserta barong dan topeng harus diarak menuju ke laut untuk dimintakan tirta suci.“Sejak itu petani dan buruh di Cemagi sudah libur tak boleh lagi melakukan kegiatan setidaknya sampai Kuningan tiba,” ungkap Gurun Santa.Di pantai Pererenan perangkat upacara itu diletakkan di pasir putih selama 2 jam. Pemangku yang meminpin upacara akan melakukan aneka macam kegiatan mulai dari membacakan doa sampai memercikkan tirta suci kepada seluruh yang hadir.“Maknanya adalah agar galungan bisa datang dengan selamat dan kami mendapatkan kemurahan rejeki kesehatan dan semua yang ada hubungannya dengan kebahagiaan hidup di dunia,” ujar Gurun Santa.Dan tradisi menyucikan barong di saat Sugihan itu telah berlangsung sejak lama, berarti dalam setahun mereka kelaut sebanyak 3 kali.Sekali saat melasti menjelang nyepi dan dua kali menyambut galungan. Barong dan perangkat lainnya kemudian disimpan sampai galungan tiba.“Sehari setelah umanis Galungan barulah Barong ini ngelawang, artinya keliling dari satu pintu ke pintu menunjukkan kepiawaian mereka menari,” ungkap Gurun Santa.Biasanya yang mengarak adalah anak anak, dan barongnyapun bukan barong yang disucikan tapi barong rekaan yang tidak dikeramatkan, tapi selalu minta restu dari barong yang asli.“Di Cemagi barong yang ngelawang hanya dari rumah kerumah, ada yang menghaturkan segehan tapi ada juga yang menanggap karena kaul dengan memberi sesari,” tutur Gurun Santa.Dengan cara barong ngelawang saat galungan itu sesepuh di banyak desa adat di Bali ingin menunjukkan bahwa di kampung mereka masih tersisa kesenian purba yang klasik.“Karena tabuh pengiring barong ngelawang itu membutuhkan ketrampilan tinggi untuk memainkannya walau Cuma terdiri dari cengceng, gong, kempur dan kendang, tanpa itu pertunjukan tak akan menarik,” tambahnya.Usai disucikan di pantai Pererenan barong kemudian diarak pulang setelah pamitan kepada dewa penguasa laut, untuk kemudian datang lagi menjelang galungan 210 hari berikutnya.
upacara ngaben bali
Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama sbg kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Seperti yg tulis di artikel ttg pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yg disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh). Ketika manusia meninggal yg mati adalah badan kasar saja, atma-nya tidak. Nah ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.
Ada beberapa pendapat ttg asal kata ngaben. Ada yg mengatakan ngaben dari kata beya yg artinya bekal, ada juga yg mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu), dll.
Dalam Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma disamping sbg dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi ngaben adalah proses penyucian roh dgn menggunakan sarana api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yg digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta utk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yg melekat pada atma/roh.
Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju sorga, atau menjelma kembali ke dunia melalui rienkarnasi. Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian.
Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan.
Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan "bade dan lembu" terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.
Prosesi ngaben dilakukan dgn berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sbg simbol-simbol seperti halnya ritual lain yg sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yg meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yg tidak ada jenazahnya spt orang tewas terseret arus laut dan jenazah tdk diketemukan, kecelakaan pesawat yg jenazahnya sudah hangus terbakar, atau spt saat kasus bom Bali 1 dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.
Untuk prosesi ngaben yg jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya kemudian dibakar. Banyak tahap yg dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yg berbeda-beda. Ketika ada yg meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta utk menanyakan kapan ada hari baik utk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yg tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya.
Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sbg kelompok yg karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap. Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol2 menggunakan kain bergambar unsur2 penyucian roh.
Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan desa setempat. Jenazah akan dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yg akan diusung ke kuburan. Wadah biasanya berbentuk padma sbg simbol rumah Tuhan. Sampai dikuburan, jenazah dipindahkan dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yg terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu.
Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yg dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralinaadalah pembakaran dgn api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yg melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dgn menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yg menggunakan angin.
Umumnya proses pembakaran dari jenazah yg utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yg dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu utk bayi yg berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yg akan ada jika ada keluarganya meninggal.
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.
Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali.
Sunday, 25 July 2010
Nyepi
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Bhuwana Alit (alam manusia) dan Bhuwana Agung (alam semesta). Rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi adalah sebagai berikut :
1. Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti.
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga" umat Hindu melaksanakan upacara Butha Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salahg satu dari jenis-jenis "Caru" menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama; Panca Sata (kecil), Panca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).
Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta Kala, dan segala 'leteh' (kotor), semoga sirna semuanya.
Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari; nasi manca warna (lima warna) berjumlah 9 tanding/paket, lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Setalah mecaru dilanjutkan dengan upacara pengerupukan, yaitu : menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.
Khusus di Bali, pada pengrupukan ini biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.
Selanjutnya dilakukan Melasti yaitu menghanyutkan segala leteh (kotor) ke laut, serta menyucikan "pretima". DIlakukan di laut, karena laut (segara) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, dan Pemuteran Mandaragiri). Selambat-lambatnya pada Tilem sore, pelelastian sudah selesai.
2. Nyepi
Keesoka harinya, yaitu pada "panglong ping 15" (Tilem Kesanga), tibalah Hari Raya Nyepi. Pada hari ini dilakukan puasa/peberatan Nyepi yang disebut Catur Beratha Penyepian dan terdiri dari; amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Beratha ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit.
Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak (1 oton/6 bulan), lambang ini diwujudkan dengan 'matekep guwungan' (ditutup sangkat ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa (Ngeraja Sewala), upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit).
Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam caka/tahun barupun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni.
Yang lebih penting dari dari pada perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), sesuai dengan Lontar Sundari Gama adalah memutihbersihkan hati sanubari, dan itu merupakan keharusan bagi umat Hindu.
Tiap orang berilmu (sang wruhing tatwa dnjana) melaksanakan; Bharata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadhi (menunggal kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi), yang bertujuan kesucian lahir bathin).
Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu, sehingga akan mempunyai kesiapan bathin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan Hari Raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti dirubah.
3. Ngembak Geni (Ngembak Api)
Terakhir dari perayaan Hari Raya Nyepi adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tangal ping pisan (1) sasih kedasa (X). Pada hari Inilah tahun baru Caka tersebut dimulai. Umat Hindu bersilahturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (ksama), satu sama lain.
Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Caka berakhir pada panglong ping limolas (15) sasih kedasa (X), dan tahun barunya dimulai tanggal 1 sasih...
Histeria Ciuman Tradisi “Omed Omedan”
Denpasar (ANTARA News) – Histeria ciuman dalam tradisi “Omed Omedan” khas Banjar Kaja, Desa Adat Sesetan, Kota Denpasar, Bali, disambut riuh oleh ribuan masyarakat sekitar bersama wisatawan asing maupun domestik.
“Omed Omedan” yang dilaksanakan sehari setelah Hari Raya Nyepi, Rabu petang, menjadi ajang yang dinantikan para lajang Banjar Kaja dan atraksi yang merupakan bagian dari ritual dusun tersebut, tak terdapat di wilayah lain di Bali.
Saat itu para pemuda dan pemudi yang masih lajang dan telah diseleksi panitia, seolah “dijodohkan” secara acak, kemudian dipaksa melakukan adegan berpelukan dan berciuman dengan dilihat ribuan orang.
Di depan penonton, termasuk undangan kehormatan Wali Kota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantra bersama pejabat lainnya, seorang wanita peserta Omed Omedan yang mendapat giliran, dipanggul ramai-ramai dari salah satu sisi di tengah Jalan Raya Sesetan, Denpasar.
Kemudian dari arah berlawanan, juga dipanggul seorang pria peserta, hingga keduanya bertemu dan saling berangkulan, berpelukan dan berciuman.
Saat mengetahui calon “pasangannya” bukan orang yang dikehendaki itulah kemudian si wanita ataupun pria, spontan teriak histeris dan mulai mempersiapkan “kuda-kuda” dengan membungkuk agar sulit dicium dan terhindar dari ciuman bibir.
Demi memisahkan “pergulatan” keduanya dalam tradisi yang unik itu, panitia kemudian menyiram dengan air menggunakan ember maupun semprotan.
Dalam bahasa daerah Bali, “omed” artinya tarik dan “omed-omedan” saling tarik-menarik. Namun yang dimaksud dalam tradisi “Omed Omedan” ini adalah pria-wanita yang saling berangkulan, berpelukan dan berciuman.
Pada pelaksanaan “Omed Omedan” kali ini, terdapat 50 pemuda dan 50 pemudi warga banjar setempat yang ditentukan untuk mengikuti ritual tradisi adat tersebut.
Latar belakang ritual tradisi tersebut, menurut sejumlah keterangan, adalah sebagai bagian dari bakti atau penyembahan kepada Ida Sang Hyan Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sejak siang hari, ribuan orang telah memenuhi Jalan Raya Sesetan depan Bale Banjar Kaja. Untuk lebih memeriahkan “Omed Omedan”, banjar itu mengemas ritual adat tersebut dalam kegiatan bertajuk “Banjar Kaja Heritage Festival”.
Wali Kota Denpasar Rai D Mantra bersama istri dan pejabat format maupun non formal juga menyaksikan festival dan ritual “Omed Omedan” yang membuat Jalan Raya Sesetan ditutup sementara itu.
Sebelum barisan peserta “Omed Omedan” dari kalangan pemuda dan barisan pemudi yang posisinya berseberangan bersiap-siap, terlebih dahulu digelar persembahyangan di Pura Banjar Kaja dengan dipimpin jero mangku setempat.
Sembari gamelan tradisional Bali terus dimainkan, barisan pemuda dan pemudi itu diarak ke dalam arena “Omed Omedan”, hingga kemudian satu-persatu mendapat giliran mengikuti ritual tradisi tersebut.
Kemeriahan itu semakin lengkap saat siraman air dari ember-ember dan selang juga diguyurkan kepada penonton dan peserta secara tidak beraturan oleh pecalang dan panitia pelaksana.
Siapapun yang berada dalam arena itu bisa menjadi basah-kuyub oleh siraman air ini dan hal itulah yang juga menjadi daya tarik tersendiri pada ritual yang dilaksanakan dalam rangkaian “Ngembak Geni” ini.
“Saya sudah delapan kali ikut `Omed Omedan`, rasanya senang juga karena bisa turut memuliakan Ida Sang Hyang Widi Wasa yang telah memberi kita kasih-sayang,” kata Putu Witarsini (24 tahun), salah satu pemudi peserta.
Setiap kali mengikuti ritual “Omed Omedan”, dia mengaku cukup berdebar-debar karena berbagai hal. “Bayangkan saja, khawatir tergelincir karena disiram air, hingga kesenangan lain semuanya campur-aduk,” ucapnya.
Witarsini mendapat giliran pertama dengan pasangan pemuda yang dipilih secara acak oleh panitia penyelenggara. Sejak masih di dalam barisan terpisah, mereka, sebagaimana yang lain juga, telah diguyur air habis-habisan oleh para pecalang.
Guyuran air itu semakin menjadi jika rangkulan dan ciuman di antara pasangan pemuda dan pemudi tersebutu dianggap mampu memesona penonton. Setelah mereka bisa melakukan ritual tradisi itu, keduanya ditarik ke dalam barisan masing-masing oleh para pemanggulnya.